Cerita Ngaleut
Oleh: Kusuma Wulan Wardani
Matahari mulai menampakkan dirinya dibalik pohon bambu itu. Sinarnya menembus kaca jendela kamar sehingga membuat aku terbangun dari tidurku semalam. Aku membuka mata. Terlihat langit biru bersolekkan awan tipis dihiasi burung merpati berterbangan. Pagi yang cerah. Kurapikan tempat tidur dan bergegas mandi karena hari minggu ini aku akan mengikuti kegiatan komunitas yang sudah hampir satu bulan ini aku aktif didalamnya. Namanya komunitas Aleut. Aleut dalam bahasa sunda yang artinya berjalan, beriringan. Komunitas ini merupakan kumpulan anak-anak muda yang peduli dengan sejarah, semua seluk beluk kejadian masa lalu yang berhubungan dengan sejarah khususnya di Kota Bandung. Hari minggu pagi ini kegiatan Aleut bertemakan jelajah Pasar Baru.
Tak sabar aku ingin segera bertemu dengan kawan-kawan. Terdengar bunyi handphone dari dalam tas ranselku.
“Ta, nanti kita ketemu di alun-alun aja ya!” kata Ratna
“Siap, sebentar lagi aku berangkat ya!” ucapku dengan penuh semangat
Pukul 7 pagi Aku berangkat naik angkot menuju alun-alun. Jalan raya cukup lengang dan tetap dengan kesibukan masing-masing. Penjual cilok, ibu yang membawa belanjaan, anak-anak yang bersepeda hingga Pak Polisi yang berjaga di persimpangan jalan car free day. Semuanya terlihat bersemangat ditengah dinginnya udara kota ini. Setelah 20 menit perjalanan menggunakan angkot akhirnya aku sampai di alun-alun. Betapa riuhnya suasana disini. Orang-orang berkumpul menikmati hari minggu paginya dengan duduk diatas rumput sintetis. Cukup dengan ngobrol, makan, dan tak sedikit yang membawa keluarga serta anak-anaknya untuk bermain. Semuanya terlihat bahagia.
Di sudut kiri sana terlihat perempuan mengenakan baju merah. Dari postur tubuhnya aku sudah bisa menebak kalu dia adalah Ratna. Orang yang menelfonku tadi pagi. Kulambaikan tangan saat dia memandangku. Dan ternyata benar dia adalah Ratna. Temanku ngaleut hari ini.
“Ta, sini kumpul, kita persiapan dulu” kata Ratna
“Maaf Na sudah lama menunggu ya?” tanyaku dengan suara pelan karena sudah banyak orang yang berkumpul
“Ah enggak juga, O iya ini Fauzi, leader ngaleut hari ini” tuturnya
“Gita” kataku sambil berjabat tangan
“Fauzi” balasnya dengan berjabat tangan pula
Terhitung ada 15 orang yang ikut berjalan hari ini. Sesuai dengan temanya jelajah Pasar Baru, kami lekas berjalan kaki menuju Pasar yang terletak di Jalan Otto Iskandar Dinata. Pasar tertua di Kota Bandung yang masih berdiri hingga saat ini. Menurut pemaparan sang leader, Fauzi, Pasar Baru merupakan pengganti pasar lama di daerah Ciguriang atau Jalan Kepatihan yang terbakar akibat kerusuhan Munada tahun 1942. Munada adalah seorang Cina Muslim dari Kudus yang bekerja pada Negel, sang asisten residen saat itu. Tetapi Munada mengkhianati kepercayaan sang atasan dengan menyelewangkan dana sehingga dipenjarakan. Merasa sakit hati dan tidak terima, Munada kemudian membakar Pasar Ciguriang yang berlanjut dengan penyerangan Munada pada Nedel.
Selanjutnya kami diajak berjalan menyusuri jajaran pertokoan yang terletak di belakang pasar, dimana los-los tersebut masih mempertahankan bangunan bergaya art-deco yang menyimpan banyak sejarah. Tidak hanya di Pasar Baru, kami berjalan menuju suatu tempat yang letaknya di sebelah barat pasar yaitu Makam Para Bupati Bandung. Memang tidak ada hubungannya antara pasar dengan makam, tapi tidak ada salahnya kita menambah pengetahuan disini agar tahu siapa saja Bupati-Bupati Bandung pada zaman dulu sekaligus berziarah. Letaknya yang tidak jauh dan dipandu oleh leader yang sangat cerdas membuat kami tambah bersemangat melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di makam, kami bertemu dengan dua orang yang sedang membersihkan makam.
“Permisi Pak, Bu, maaf kami dari komunitas aleut ingin melihat-lihat makam dan mengingat kembali sejarah tentang Para Bupati Bandung yang telah wafat sekaligus berziarah” tutur Fauzi
“Silakan Kang, semuanya” kata Bapak
Diketahui kedua orang tua tadi adalah petugas kebersihan makam. Pak Broto dan Bu Imas namanya. Mereka adalah pasangan suami istri.
“Neng, komunitas tentang apa ini?” tanya Bu Imas yang kebetulan berada di samping kananku.
“Ini kumpulan anak-anak muda Bandung yang punya keingintahuan yang tinggi tetang sejarah dan ingin melestarikan sejarah Bu” tuturku
“Wah, masih ada ya di zaman sekarang anak-anak muda yang seperti ini. Ibu bangga sama kalian. Betapa banyak anak muda yang tidak tahu dengan sejarah negerinya bahkan dengan tokoh-tokoh yang berjasa memerdekakan negeri ini. Terus ingat-ingat sejarah bagaimana para tokoh yang berjuang mengorbankan harta dan jiwanya hingga gugur di medan perang. Ingat dan renungkan agar tumbuh nasionalisme pada jiwa kalian, lebih mencintai negeri ini. Masa depan negeri kita dapat dilihat dari bagaimana keadaan para anak mudanya sekarang” tutur ibu
Betapa Sang Ibu sangat memperhatikan bagaimana keadaan anak-anak muda saat ini. Dalam hati kecilku aku merasa malu bahwa di usiaku yang sudah dewasa ini belum banyak yang bisa aku berikan maupun perjuangkan untuk negeri. Aku ingin sampai tua nanti tetap mencintai negeri ini apapun keadaannya. Aku bangga pernah dilahirkan di negeri ini. Negeri yang kaya akan sejarah. Negeri yang kaya akan sumber daya alam. Aku bangga menjadi bagian dari Indonesia.