PESAN
AYAH
Oleh:
Kusuma Wulan Wardani
Namaku Rian, Rianti
Atmaja, seorang pelajar kelas tiga SMA yang sekarang sedang duduk termenung di
ruang BP sekolah. Mataku tajam menatap guru yang berbicara. Duduk tegap dengan
jari tangan saling menggenggam di atas meja kayu berukuran satu kali setengah
meter itu. Disampingku seseorang duduk dengan kepala tertunduk seolah-olah
dibawahnya ada sekeping uang logam dan dia siap mengambilnya. Hanya kata “ya”
yang keluar dari mulut ketika guru menanyainya. Ini sudah kedua kalinya ia
dipanggil ke ruang BP karena meminta uang secara paksa anak-anak kelas sepuluh.
Aku berada di ruang BP bukan karena ikut meminta uang tetapi terlibat adu mulut
dengan Beni saat Aku tahu bahwa anak kelas sepuluh yang ia paksa minta uangnya
adalah adik sepupuku. Suara guru menggema di setiap sudut ruangan dan kalimat
terakhir yang Beliau ucapkan adalah oang tua Beni akan dipanggil ke sekolah
untuk membicarakan masalah ini. Aku merasa cukup lega mendengarnya, setidaknya
Beni akan jera dengan apa yang ia perbuat.
Bel
berbunyi tanda jam istirahat usai. Suaranya nyaring. Bergegas kurapikan baju
putihku yang lusuh. Kulihat ada luka di siku tangan. Sedikit berdarah dan
rasanya perih. Tapi biarkan saja, Aku ini perempuan kuat, sudah biasa merasakan
hal-hal seperti itu. Nanti diberi obat merah pasti sembuh. Beni memang sempat
mendorongku saat adu mulut tadi siang di kantin sekolah. Aku jatuh terkulai
diantara kursi dan meja kantin. Tapi Aku segera bangkit, Aku tak ingin terlihat
lemah dan Beni menginjak-injak harga diriku. Aku memang bukan berasak dari
keluarga kaya seperti teman-teman sekolahku. Aku berhak melindungi diriku,
keluarga bahkan adik sepupuku ketika ada orang lain yang merendahkan.
Bersyukur
Aku bisa bersekolah di SMA ini. SMA kebanggaan setiap orang di kotaku. Hanya
orang-orang cerdas yang bisa bersekolah disini. Kalaupun tidak cerdas hanya
orang-orang kaya yang bisa membeli apapun yang ia mau dengan uang, termasuk
bersekolah di SMA ini. Tetapi jangan salah, Aku bersekolah di SMA ini karena kerja
keras otakku berfikir dan belajar. Mustahil bagiku membayar uang jutaan rupiah
untuk bias masuk SMA ini karena Aku berasal dari keluarga sederhana dan berkecukupan,
cukup untuk makan, cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Aku adalah anak tunggal
dari orang tua yang sangat menyayangiku. Terlebih ayahku, Beliau ingin sekali
Aku bias berpendidikan tinggi meraih gelar sarjana, magister, hingga doctor
sekalipun. Ibuku telah tiada sejak Aku berusia 5 tahun. Ayah adalah orang yang
sangat percaya diri dan memiliki keinginan kuat. Tak peduli apakah Beliau bisa
menyekolahkan Aku sampai jenjang tertinggi karena biayanya pasti mahal. Tapi
Beliau selalu berpesan padauk selama ada kemauan pasti ada jalan.
Besok
adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa kelas dua belas yaitu
pengumuman hasil Ujian Nasional. Keyakinanku kuat, Aku pasti lulus. Tapi
bagaimana dengan nilainya, baik, sedang atau burukkah. Aku cemas hari ini,
jantungku berdebar menanti esok hari.
Kecemasanku
hilang saat Aku mengetahui bahwa Aku dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup
memuaskan. Lantas bagaimana dengan kelanjutan pendidikanku. Aku masih menunggu
pengumuman SNMPTN atau Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri esok
hari.
Hari
yang ditunggu-tunggu telah tiba. Namaku tidak ada dalam daftar siswa yang lolos
SNMPTN. Seketika tubuhku lemas. Hanya bias duduk tertunduk menahan tangis
ketika berbicara dengan Ayah.
“Rian
tidak usah kuliah ya Yah, biar kerja aja”
“
Dengarlah nak, kita memang bukan orang yang kaya, Ayah tidak berpendidikan
tinggi apalagi disegani banyak orang. Ayah ingin kau memiliki masa depan yang
cerah tidak seperti kita sekarang. Negara kita ini menjamin hak-hak setiap
warganya termasuk hak mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan negara akan
memberikan bantuan pendidikan atau beasiswa kepada anak-anak yang cerdas maupun
tidak mampu untuk bersekolah baik di dalam maupun di luar negeri. Ayah tahu Kau
anak yang cerdas. Kau hanya perlu berusaha lebih keras lagi. Keberhasilan tidak
didapat diperoleh dengan instan Nak, terkadang kau harus rela jatuh
berkali-kali kemudian bangkit untuk meraih keberhasilanmu. Itulah
sebenar-benarnya usaha. Dengan kau menjadi orang yang berpendidikan, tidak akan
banyak orang lain yang merendahkanmu. Berusahalah nak, manisnya hidup terasa
setelah lelah berjuang”. Ayah mencoba memberiku semangat.
Benar
saja, Aku diterima di salah satu Universitas Negeri setelah mati-matian belajar
bahkan mendapat beasiswa sekaligus karena nilaiku pada saat tes masuk memang
bagus. Motivasi Ayah kala itu telah mengetuk hatiku untuk terus berusaha dan
menyadarkanku akan pentingnya pendidikan. Ku cium tangan Ayahku, Ku ucapkan
terima kasih padanya meminta doa restu Aku belajar di Fakultas Keguruan,
Jurusan Pendidikan Bahasa. Cita-citaku sejak dulu.